koranmonitor – BINJAI | Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Kelas IB Binjai, kembali menjadi saksi perjuangan panjang keluarga mendiang Kalana Sitepu.
Di hadapan majelis hakim, kisah pilu dan menyayat hati yang disampaikan para saksi menggambarkan, betapa rumitnya pertarungan hukum antara pihak bank, perusahaan asuransi, dan keluarga almarhum, Kamis (16/10/2025).
Kasus ini bukan sekadar soal angka dan dokumen. Di baliknya, ada cerita tentang rasa kehilangan, tekanan ekonomi, dan dugaan ketidakadilan yang dialami keluarga Sitepu setelah sang kepala keluarga meninggal dunia.
Anak-anak almarhum Kalana Sitepu yakni Edi Rianta Sitepu, Dikki Heriawan Sitepu, Tommy Efendi Sitepu, dan Neta Nopiana Sitepu berjuang menuntut keadilan. Mereka menggugat tiga perusahaan besar yakni PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) yang kini berganti nama menjadi PT Bank SMBC Indonesia Tbk, PT Murni Aldana Manajemen, dan PT Asuransi Allianz Life Indonesia.
Dalam gugatan perdata bernomor 25/Pdt.G/2025/PN Bnj, para ahli waris menuduh adanya pelanggaran serius dalam proses cesi atau pengalihan piutang yang dilakukan, setelah Kalana Sitepu meninggal dunia.
“Kami merasa ada ketidakjujuran dan permainan dalam pengalihan piutang itu,” ujar salah satu ahli waris dengan nada tegas setelah sidang.
Menurut mereka, hak sebagai keluarga justru diabaikan. Padahal, fungsi utama asuransi jiwa adalah memberikan perlindungan bagi keluarga debitur yang meninggal dunia. Alih-alih terlindungi, mereka justru terus menerima surat tagihan dari pihak ketiga hingga bertahun-tahun setelah kematian sang ayah.
Sidang ke-12 perkara ini menghadirkan suasana tegang. Majelis hakim yang dipimpin oleh Mukhtar SH MH membuka sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi fakta, dan ahli dari pihak penggugat.
Hadir di ruang sidang pihak keluarga penggugat, perwakilan dari PT Allianz Life Indonesia, serta PT Bank SMBC Indonesia (eks BTPN). Namun, PT Murni Aldana Manajemen kembali absen untuk kedua kalinya tanpa alasan yang jelas.
Salah satu saksi yang dihadirkan dalam sidang adalah Sumpeno (55), rekan dekat sekaligus orang yang pernah merawat Kalana Sitepu selama masa sakit. Dengan nada berat, ia berkata di hadapan majelis hakim,
“Saya pernah merawat Pak Kalana Sitepu sejak tahun 2015 sampai 2016,” ujarnya tegas.
Ia menceritakan Kalana menderita hipertensi dan stroke ringan, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 16 Januari 2017. Selama masa sakit, almarhum sempat dirawat di Puskesmas Kuala, RS Arta Medica, dan RSU Djoelham.
Lebih lanjut, Sumpeno mengaku mengetahui bahwa Kalana memiliki pinjaman di bank, meski tidak tahu pasti jumlahnya. Ia bahkan sempat mendengar langsung keluhan almarhum soal tekanan yang dirasakan, karena beban utang yang menumpuk.
“Dulu dia sempat bilang, saya stres mikirin bank ini. Saya merasa ditipu, gimana kalau saya mati, gimana nasib anak saya,” ungkap Sumpeno menirukan ucapan mendiang.
Kalimat itu menggambarkan beban mental berat yang dialami Kalana di masa-masa terakhir hidupnya. Menurut Sumpeno, pihak bank bahkan sempat datang ke rumah dan ke rumah sakit saat almarhum sudah tak sadarkan diri.
“Saya melihat sendiri orang bank datang ke rumah dan ke RSU Djoelham, tapi saya tidak tahu apa pembicaraannya,” tambahnya.
Disisi lain, Kuasa hukum keluarga Sitepu, Darman Yosef Sagala, mengungkap adanya indikasi kuat bahwa proses cesi dilakukan setelah debitur meninggal dunia. Menurutnya, hal itu jelas bertentangan dengan hukum perdata.
“Seharusnya, sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2899K/Pdt/1994, ketika kredit dinyatakan macet, maka kredit itu tidak boleh lagi dibebani bunga tambahan,” tegas Darman di hadapan majelis hakim.
Ia menjelaskan bank tidak berhak menambah beban bunga terhadap kredit yang sudah macet, terlebih jika debitur telah wafat. Namun, kenyataannya, keluarga Kalana masih menerima surat peringatan dan tagihan dari pihak ketiga hingga tahun 2025.
“Dia dicesi pada saat sudah meninggal dunia. Jangan-jangan pihak asuransi dan Pak Kalana justru ditipu pihak bank,” pungkasnya di depan awak media.
Pernyataan ini sontak memantik perhatian publik. Apalagi, perusahaan yang disebut-sebut mengelola piutang hasil cesi, yakni PT Murni Aldana Manajemen, dua kali absen berturut-turut dari persidangan. Banyak pihak menduga ada sesuatu yang disembunyikan.
Bagi keluarga, gugatan ini bukan semata urusan nominal uang. Mereka menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah soal harga diri, kejujuran, dan tanggung jawab lembaga keuangan terhadap nasabahnya.
“Kami hanya ingin keadilan. Kalau memang ada asuransi, kenapa masih ada tagihan sampai sekarang?,” ujar Dikki Sitepu, anak almarhum, seusai sidang dengan mata berkaca-kaca.
Ucapan itu menggambarkan rasa kecewa mendalam keluarga terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka di saat duka. Kini, mereka berharap agar majelis hakim benar-benar mengungkap seluruh fakta dan memberikan putusan yang adil.
Sidang berakhir dengan penutupan oleh Ketua Majelis Hakim Mukhtar, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa persidangan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak penggugat.KM-Nasti