koranmonitor – JAKARTA | Analis kebijakan publik sekaligus Kepala Peneliti NEXT Indonesia Center, Ade Holis, menilai rencana pemerintah memberlakukan kebijakan Bea Keluar batu bara mulai Januari 2026 berpotensi menambah pendapatan negara hingga Rp19 triliun dalam satu tahun anggaran.
Potensi penerimaan tersebut merupakan hasil riset NEXT Indonesia Center yang hanya menghitung komoditas batu bara dengan kode HS 2701, yakni batu bara dan briket, tanpa memasukkan lignit atau batu bara berusia muda dengan kualitas terendah.
“Simulasi pendapatan itu hanya berasal dari komoditas dengan kode HS 2701. Lignit memiliki kode HS 2702. Jika lignit juga dikenakan Bea Keluar, potensi penerimaan negara tentu akan lebih besar,” ujar Ade Holis dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (21/12/2025).
Ade menjelaskan, riset tersebut merupakan respons atas rencana pemerintah mengaktifkan kembali kebijakan Bea Keluar atau Pungutan Ekspor batu bara setelah sekitar dua dekade dibebaskan dari pungutan tersebut. Terakhir kali Bea Keluar batu bara diberlakukan pemerintah terjadi pada periode 2005–2006.
Menurutnya, tujuan utama kebijakan ini tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga untuk menghapus bentuk “subsidi” tidak langsung terhadap batu bara yang selama ini diberikan melalui pembebasan bea ekspor.
Berdasarkan hasil simulasi NEXT Indonesia Center, potensi penerimaan negara pada 2026 diperkirakan mencapai Rp11,7 triliun dalam skenario pesimis, Rp15 triliun dalam skenario moderat, dan Rp19 triliun dalam skenario optimis.
Perhitungan tersebut menggunakan asumsi tarif Bea Keluar sebesar 2,5 persen, sebagai titik tengah dari rentang 1–5 persen yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Selain itu, simulasi juga mempertimbangkan variabel volume ekspor, Harga Patokan Ekspor (HPE), serta proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Patokan simulasi menggunakan dasar Peraturan Menteri Keuangan tahun 2005 saat Bea Keluar batu bara pernah diberlakukan,” jelas Ade.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan Bea Keluar tidak semata-mata berorientasi pada peningkatan penerimaan negara. Lebih jauh, kebijakan ini dinilai sebagai instrumen strategis untuk mendorong hilirisasi, agar batu bara tidak hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi diolah menjadi bahan baku industri di dalam negeri.
Selama kebijakan bebas Bea Keluar berlaku, penerimaan negara dari sektor batu bara hanya bersumber dari iuran produksi atau royalti serta iuran tetap pertambangan. Pada 2024, berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan dari sektor ini mencapai Rp77,9 triliun atau sekitar 13,33 persen dari total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Meski potensi penerimaannya besar, Ade mengingatkan adanya risiko yang perlu diantisipasi, khususnya terkait daya saing batu bara Indonesia di pasar global. Kekhawatiran pelaku usaha muncul seiring tren penurunan harga batu bara dunia dan kenaikan biaya operasional pertambangan.
Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan sensitivitas pasar global terhadap harga komoditas. Keberhasilan kebijakan Bea Keluar sangat bergantung pada momentum dan desain regulasi yang adaptif.
“Misalnya, dengan formula pungutan yang hanya optimal saat harga tinggi dan dapat direlaksasi atau ditangguhkan ketika pasar sedang lesu,” ujarnya.
Data International Trade Center (ITC) menunjukkan harga batu bara Indonesia sepanjang 2020–2024 rata-rata berada 32,6 persen di bawah harga rata-rata dunia. Kondisi ini dinilai masih memberi ruang bagi produsen nasional untuk bersaing, meski dikenakan Bea Keluar hingga 5 persen.
Untuk memperkuat efektivitas kebijakan, Ade menyarankan penerapan struktur tarif berjenjang yang selaras dengan pergerakan harga dan kualitas batu bara. Kebijakan tersebut juga perlu terintegrasi dengan agenda hilirisasi serta dilengkapi mekanisme evaluasi berkala.
“Dengan pendekatan yang luwes dan berbasis data, Bea Keluar batu bara tidak hanya mengisi kas negara, tetapi juga mengarahkan sektor energi Indonesia menuju struktur yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” tutup Ade Holis. KMC/R






