Kenaikan Biaya QRIS 0.3%, Pada Dasarnya Masih Bisa Ditolerir
QUICK Response Code Indonesian Standard atau QRIS sudah tidak lagi gratis, ketetapan baru yang mengatur membebankan biaya sebesar 0.3% bagi merchant usaha mikro (UMKM), dan tidak boleh dibebankan kepada pembeli.
Respon masyarakatpun beragam, dan wajar jika ada yang pro dan kontra. Terlebih aturan yang mengatur bahwa pembeli tidak bisa dibebankan dari kenaikan biaya penggunaan QRIS tersebut.
Nah, apakah kebijakan dari BI tersebut efektif dan tidak memicu kenaikan harga jual produk UMKM?. Jadi kalau misalkan ada rumah makan yang menjajakan barang dagangannya, dan pembayarannya bisa menggunakan QRIS. Lantas harga nasi per bungkusnya adalah Rp10 ribu. Nah, QRIS akan mengenakan biaya 30 rupiah bagi pengguna jasa pembayaran QRIS.
Sehingga larangan untuk membebankan kenaikan biaya QRIS tersebut sangat masuk akal. Angkanya sangat kecil sekali, dan menurut hemat saya seharusnya tidak memicu pembulatan harga jual keatas. Jadi misalkan karena QRIS membebankan biaya 0.3%, lantas pedagang mensiasati dengan menaikkan harga jual nasi bungkusnya menjadi Rp11.000 atau Rp10.500.
Terjadi pembulatan yang sangat jauh sekali dari beban sebenarnya yang hanya 30 rupiah itu. Jadi pada dasarnya akan terlihat nantinya jikalau ada pengguna merchant yang menyesuaikan harga setelah kenaikan tarif. Idealnya kenaikan harga suatu barang itu akan mengacu kepada uang recehan terkecil yang banyak beredar di masyarakat.
Misal jika kita sebagai pelanggan nasi bungkus, kenaikan yang paling biasa adalah Rp1000 per bungkusnya. Jadi kalau nasi bungkus naik dari 10 ribu menjadi Rp11 ribu itu terkesan biasa, kenaikannya terbilang wajar. Kalau naiknya 500 menjadi Rp10.500 terasa ganjil sekali kenaikan tersebut. Dan kalau naiknya Rp100 menjadi Rp10.100 apalagi naik 30 menjadi Rp10.030, ini bisa menimbulkan kecurigaan bahwa pedagang membebankan kenaikan biaya QRIS ke pembeli.
Nah pembeli tentunya bisa merasakan perubahan harga nantinya. BI sendiri sudah mengarahkan kepada masyarakat untuk melaporkan jika terjadi kenaikan biaya QRIS yang turut dibebankan ke pembeli.
Saya menilai kenaikan 0.3% itu pada dasarnya bisa ditolerir, sekalipun memang tetap membebani pedagang. Tetapi setidaknya pedagang tidak memanfaatkan kenaikan beban biaya QRIS, dengan menaikkan harga jual barang yang justru dimanfaatkan untuk meraup untung lebih dengan alibi kenaikan biaya QRIS.(Penulis: Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara)
koranmonitor - MEDAN | Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Medan, terus meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat…
koranmonitor - LABUSEL | Satuan Reserse Narkoba Polres Labuhan Batu Selatan (Labusel) dan polsek jajaran…
koranmonitor - MEDAN | Kapolda Sumut, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, memimpin upacara serah terima…
koranmonitor - LANGKAT | PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) menegaskan tidak akan memenuhi tuntutan ganti…
koranmonitor - BINJAI | Kota Binjai diguncang temuan mengejutkan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan…
koranmonitor - JAKARTA | Timnas Indonesia harus mengakui keunggulan Arab Saudi dengan skor tipis 2-3…