Ferdinand Sembiring dan Kantor BPKAD Kota Binjai.
koranmonitor – BINJAI | Dugaan penyelewengan dana insentif fiskal (DIF) Kota Binjai tahun 2024 menyeruak ke permukaan. Jumlahnya tak main-main: mencapai Rp32 miliar.
Praktisi hukum Ferdinand Sembiring SH MH menduga, skandal ini tak lepas dari peran dan kelalaian Inspektorat Kota Binjai. Ia mencium adanya dugaan permufakatan jahat yang merugikan keuangan negara.
Menurut Ferdinand, Inspektorat seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembinaan, dan pengawasan tata kelola pemerintahan. Dengan perannya yang strategis, semestinya berbagai potensi pelanggaran dalam penggunaan anggaran bisa dicegah sejak dini. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Ferdinand menguraikan, kronologi dan alur anggaran yang semestinya melewati pembahasan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dalam tim itu, Sekda bertindak sebagai ketua, didampingi oleh BPKAD, Bappeda, dan Inspektorat. Setiap pos anggaran, termasuk dana pusat seperti DIF, harus dikaji secara rinci di forum TAPD sebelum disalurkan ke dinas terkait.
“Di sinilah dugaan pemufakatan jahat mulai mencuat. Wewenang besar ditangan TAPD justru jadi celah untuk memperkaya diri,” tegas Ferdinand.
Lebih lanjut, ia menduga Inspektorat bukan hanya tahu, tapi turut memberi restu atas pengaturan permufakatan jahat ini. Terlebih jika melihat bagaimana anggaran tersebut seolah-olah hilang dari daftar resmi APBD, namun secara diam-diam tetap dialokasikan.
Permainan anggaran yang disinyalir melibatkan BPKAD disebut cukup rapi. Ferdinand menjelaskan, kode rekening DIF diduga sengaja dihilangkan dari daftar APBD. dengan cara menumpang-namakan anggaran melalui DAU dan DAK. Tujuannya jelas agar tak terdeteksi dalam pengawasan publik maupun auditor.
Namun kejanggalan itu semakin terlihat jelas. Di dalam isi buku APBD justru ditemukan keberadaan anggaran DIF. Ini menguatkan dugaan bahwa para oknum sengaja menyamarkan data demi melancarkan aksi penjarahan uang negara.
“Dengan perannya masing-masing, jelas mereka mengincar keuntungan pribadi. Negara sudah jelas dirugikan dan harus ada tindakan hukum,” desak Ferdinan.
Di sisi lain, Kepala Inspektorat Kota Binjai, Eka Edi Syahputra, mengelak dari tanggung jawab. Ia berdalih pihaknya tak bisa bergerak tanpa adanya laporan resmi dalam bentuk dokumen masyarakat (dumas).
“Kami hanya menunggu laporan. Tanpa dumas, kami tak punya kewenangan untuk audit,” ujar Eka, seolah mencuci tangan.
Meski begitu, Eka menyatakan dukungannya terhadap penyelidikan yang kini dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai. Bahkan dirinya mengaku telah diperiksa. Namun pernyataan singkatnya justru menyisakan tanda tanya besar soal komitmen lembaganya dalam menjaga integritas anggaran publik.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Binjai, Ridho Indah Purnama, akhirnya angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa ketidakhadirannya dalam pemanggilan penyidik disebabkan oleh agenda rapat yang bersamaan. Namun soal penerimaan DIF senilai Rp14 miliar oleh dinasnya, Ridho mengaku tidak tahu.
“Gak tahu. Lebih tepat ke TAPD atau BPKAD,” ungkap Ridho jujur.
Ia menambahkan bahwa selama ini dinasnya hanya mengenal anggaran bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), bukan DIF. Namun data yang ditemukan penyidik menunjukkan sebaliknya. Anggaran tahun 2023 disebut bersumber dari DAU, namun berubah menjadi hutang yang muncul di DPA 2024 dengan sumber dari DIF.
“Awal pelaksanaan DPA 2023 sumber dana DAU. Terbawa menjadi hutang muncul di DPA TA 2024 sumber dana DIF,” tegas Ridho.
Pernyataan ini seakan membuka tabir bahwa OPD menjadi korban dari keputusan yang hanya dibahas di kalangan elit TAPD. Mereka bekerja di lapangan tanpa tahu-menahu soal permainan kode rekening yang mengatur sumber dana.
Dari rangkaian kesaksian dan dugaan yang muncul, satu hal jadi jelas ada kejahatan terstruktur dalam aliran dana DIF. Dugaan kuat bahwa TAPD dan Inspektorat bermain mata, harus segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan menyeluruh. Kejaksaan Negeri Binjai punya pekerjaan besar untuk menelusuri jejak-jejak manipulasi ini hingga ke akarnya.
Jika terbukti, maka jerat hukum harus dikenakan seberat-beratnya. Uang rakyat tak boleh jadi bancakan elite birokrat. Skandal DIF harus menjadi pintu masuk untuk membersihkan praktek-praktek kotor di balik pengelolaan keuangan daerah. KM – Nasti/red
koranmonitor - MEDAN | Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution melakukan rapat dengan Komisi II DPR…
koranmonitor - MEDAN | Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution akan mulai menerapkan lima hari sekolah…
koranmonitor - MEDAN | Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution menyampaikan keluhan masyarakat terkait permasalahan…
koranmonitor - MEDAN | Panglima Kodam I BB, Mayjen TNI Rio Firdianto, melalui Kepala Kesehatan Kodam…
koranmonitor - MEDAN | Sebanyak 290 kilogram (kg) sabu-sabu disita Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut…
koranmonitor - JAKARTA | Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut hukuman 7 tahun penjara terhadap…