Walikota Medan Nonaktif Dituntut 7 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politiknya

oleh

MEDAN | Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut hukuman 7 tahunnlenjara kepada Walikota Medan non aktif, Dzulmi Eldin, Kamis (14/5/2020) di Pengadilan Tipikor Medan.

Dalam amar tuntutan yang dibacakan JPU KPK Siswandono, Walikota Medan Nonaktif juga dibebankan membayar denda sebesar Rp500 juta dan subsider enam bulan kurungan. Ditambah pidana tambahan, dicabut hak politiknya selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman.

Jaksa Penuntut menilai Walikota Medan Nonaktif terbukti bersalah menyuruh Kasubbag Protokoler Pemko Medan, Syamsul Fitri, meminta uang ke sejumlah Kepala Dinas dan Dirut BUMD, untuk biaya perjalanan keluar kota dan keluar negeri yang tidak masuk dalam anggaran.

Menurut jaksa penuntut KPK, terdakwa Dzulmi Eldin menyuruh Syamsul mengutip uang untuk menutupi biaya perjalanan dinas keluar kota seperti Tarakan, Solo, Semarang, termasuk perjalanan ke Ichikawa, Jepang. Dalam kurun waktu tersebut, Syamsul berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp2,1 miliar.

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Syamsul bahwa dirinya mengutip uang atas perintah Walikota Medan, Tengku Dzulmi Eldin.

Usai membacakan tuntutan, majelis hakim menunda persidangan hingga dua pekan ke depan.

Terpisah, Junaidi Matondang SH selaku tim penasihat hukum terdakwa Dzulmi Eldin, merasa tuntutan jaksa tidak tepat sekaitan unsur menerima hadiah.

“Tidak memenuhi batas minimal pembuktian karena dalam nota tuntutan jaksa KPK bersifat Unus Testis Nulus Testis dan Testomonium de Auditu,” ucapnya.

Fakta Cenderung Paksakan

Junaidi menuturkan, seperti bukti surat atau bukti tanda terima pembelian barang atau bukti penerimaan uang untuk Dzulmi Eldin sama tidak pernah diperlihatkan selama persidangan.

“Justru yang terbukti adalah terdakwa tidak mengetahui sepak terjang Syamsul Fitri yang sering meminta uang kepada para Kadis. Hal ini sesuai dengan keterangan para kadis. Bahkan Syamsul Fitri mengaku tidak melaporkan kepadanya telah meminta dan mendapatkan uang dari para kadis,” ujar Junaidi.

Dikatakan Junaidi, fakta yang diungkap oleh penuntut KPK cenderung dipaksakan, seperti uraian fakta jaksa KPK yang menegaskan bahwa Dzulmi Eldin tidak pernah menginstruksilan kepada Syamsul Fitri untuk meminta uang kepada para kadis.

Selain itu ada fakta yang disebut jaksa KPK yang tidak berdasarkan bukti persidangan, yaitu fakta tentang permintaan uang kepada para kadis yang menurut jaksa terbukti dari keterangan Syamsul fitri dan Aidil. Padahal di persidangan, Aidil gamblang mengakui bahwa hal itu hanya asumsinya saja.

Kemudian menurutnya jaksa juga menerapkan asumsi subjektif yakni, menyatakan tidak mungkin Dzulmi Eldin tidak mengetahui Syamsul Fitri, dan Andika meminta uang dari para kadis.

Lalu ada juga fakta lain versi jaksa KPK yang tidak berdasarkan bukti, yaitu fakta yang menurut jaksa KPK buang yang diterima secara tidak langsung dari Syamsul sebanyak sekitar Rp2,1 miliar.

Padahal faktanya, uang sejumlah Rp2,1 miliar tersebut ada yang digunakan oleh Syamsul Fitri untuk biaya transportasi berupa tiket pesawat, biaya akomodasi dan konsumsi para kadis yang ikut dalam perjalanan dinas bersama walikota.KM-Fahmi