koranmonitor – MEDAN | Buruknya manajemen internal di tubuh PT Bank Sumut kembali menjadi sorotan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi terkait kredit macet di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Melati Medan, Senin (6/10/2025).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim As’ad Rahim Lubis, terungkap bahwa hasil analisa kredit atas nama debitur Heri Ariandi yang berkasnya disidangkan terpisah hanya ditandatangani oleh terdakwa Johanes Catur Surbakti (JCS) selaku mantan Pelaksana Pimpinan Bank Sumut KCP Melati Medan.
“Harusnya semua debitur diperlakukan sama. Kalau tidak ada tanda tangan dari analis dan wakil pimpinan KCP, kok kreditnya bisa dicairkan? Sudah berapa pegawai Bank Sumut yang jadi pencuri di sini?,” kata Ketua Majelis Hakim As’ad Rahim Lubis didampingi hakim anggota Eliyurita dan Rurita Ningrum ikut mendampingi sidang pengajuan.
Prosedur Dilanggar
Saksi Erwin Zaini mantan Pimpinan Divisi Penyelamatan Kredit Kantor Pusat Bank Sumut, menerangkan setiap proses verifikasi permohonan kredit wajib ditandatangani oleh tiga pihak yakni analis, wakil pimpinan, dan pimpinan cabang.
“Harus ada tanda tangan ketiganya. Kalaupun analis tidak setuju, tetap menandatangani dengan catatan tidak setuju,” ujar Erwin Zaini yang juga mantan Sekretaris Perusahaan PT Bank Sumut di hadapan majelis hakim.
Ia juga menjelaskan pada tahun 2013, pemberian kredit maksimal hanya 80 persen dari nilai agunan berdasarkan hasil verifikasi bidang analis. Nilai agunan ditentukan dari pembanding data seperti PBB, NJOP, dan informasi dari perangkat kelurahan atau desa.
Menurut Erwin, permohonan kredit untuk pembelian aset wajib disertai uang muka. Sedangkan untuk kredit non-KPR, batas kewenangan maksimal hanya Rp400 juta, dan bila melebihi plafon harus melebihi pimpinan cabang.
Dalam kasus ini, aset berupa rumah kos di kawasan Jalan SM Raja, tak jauh dari Kampus Fakultas Kedokteran UISU, dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai sebenarnya.
“Penyelesaian kredit macet ini pernah diupayakan, tapi tidak ada titik temu. Akhirnya kasusnya dilimpahkan ke Bidang Hukum Bank Sumut dan kemudian ke aparat penegak hukum,” tambah Erwin.
Konfrontasi di Persidangan
Suasana sidang sempat memanas ketika hakim mengonfrontir terdakwa JCS dengan bukti yang dihadirkan jaksa. JCS melakukan penandatanganan dokumen kredit pada bulan Februari 2013, padahal akad kredit berdasarkan dokumen dilakukan di hadapan notaris pada tanggal 25 Januari 2013.
“Kalau di bulan Februari saudara sudah pindah tugas, bagaimana bisa masih menandatangani persetujuan? Kalau dokumen lengkap, kenapa perkaranya sampai ke pengadilan?” tegas hakim As’ad.
Terdakwa JCS hanya menjawab dan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Hakim Perintahkan Hadirkan Notaris
Majelis hakim kemudian memerintahkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumut untuk menghadirkan notaris Rima Agustina, M.Kn, pada konferensi berikutnya.
Notaris bisa menjelaskan kapan mengetahui nilai kredit untuk dituangkan dalam perjanjian. Ia juga bisa menjelaskan apakah persetujuan kredit berasal dari pimpinan cabang atau bagian administrasi, ujar hakim As’ad.
Kerugian Negara Rp1,2 Miliar
Sebelumnya, dua saksi yakni Resti Abra (Pelaksana Wakil Pimpinan KCP Melati Medan) dan Yulfandiniary Nasution (Analis Kredit) juga telah memberikan keterangan pada konferensi tersebut.
Dari hasil analisa, nilai jual aset yang dijadikan agunan berupa rumah kos di Jalan SM Raja XII Gang Keluarga, Kelurahan Kota Matsum III, hanya sekitar Rp800 juta hingga Rp1,2 miliar. Namun, penipu JCS tetap menyetujui pencairan fasilitas Kredit Perumahan Rakyat (KPR) sebesar Rp1,8 miliar kepada Heri Ariandi.
Akibat kebijakan tersebut, kredit tersebut macet dan menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1.234.518.489. KMC/R