koranmonitor – TANJUNGBALAI | Kuasa hukum Rahmadi Suhandri Umar Tarigan mengganggu dugaan pelanggaran lain, yakni raibnya uang sebesar Rp11,2 juta dari rekening m-banking kliennya.
Terungkapnya uang itu raib dari rekening terdakwa Rahmadi, sepekan setelah handphone Rahmadi disita saat penangkapan.
“Uang itu diduga transfer keluar dari rekening klien kami melalui M-banking pada 10 Maret, tujuh hari setelah penangkapan,” ujar Suhandi Umar Tarigan, usai mendampingi kliennya dalam konferensi di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai, Kamis, (14/8/2025).
Bahkan, Umar menegaskan telah memiliki bukti-bukti transaksi yang berkaitan dengan raibnya uang dari rekening kliennya tersebut.
Kendati demikian, Umar belum mau mengungkapkan secara rinci perihal tersebut, termasuk kemana uang Rp11,2 juta milik Rahmadi itu mengalir.
“Kami memiliki bukti transaksi. Nanti kami sampaikan setelah kami melaporkan fakta baru ini ke Bid. Propam dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Sumut,” tegas Umar.
Sementara itu, dalam dugaan, dugaan rekayasa kasus penipuan Rahmadi menguat setelah dua polisi penangkap dari Ditresnarkoba Polda Sumut menyampaikan bukti berbeda.
Fakta itu terungkap dalam sidang lanjutan perkara kepemilikan narkotika dengan pengacara Rahmadi di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara.
Perbedaan versi yang mencolok tersebut menimbulkan dugaan pelanggaran prosedur dan potensi rekayasa dalam proses penangkapan.
Dua anggota Ditresnarkoba Polda Sumatera Utara, Bripka Toga M Parhusip dan Gunarto Sinaga, dihadirkan secara terpisah sebagai Saksi Penangkap.
Dalam buktinya, Toga menyebut sabu-sabu seberat 10 gram ditemukan di bawah jok depan mobil Rahmadi. Namun, Gunarto menyatakan barang bukti itu ditemukan di bawah kursi pengemudi.
Perbedaan ini mendapat sorotan dari majelis hakim.
“Apakah benar barang bukti itu kalian temukan. Bukan kalian yang menaruhnya, kan?” tanya hakim anggota dalam konferensi.
Kuasa hukum Rahmadi, Suhandri Umar Tarigan dan Ronald Siahaan, menyatakan penangkapan klien mereka sarat kejanggalan.
Mereka menyoroti proses penangkapan yang disebut dilakukan tanpa penyelidikan mampu.
Dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), pelapor dan penangkapan sama, yakni Kompol Dedi Kurniawan, dengan tanggal laporan dan penangkapan yang bertepatan, yaitu 3 Maret 2025.
“Hal ini mengindikasikan proses penangkapan tidak sesuai prosedur karena tidak melalui tahapan gelar perkara atau penyelidikan yang sah,” ujar Suhandri.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua PN Tanjungbalai, Karolina Selfia Sitepu, kedua Saksi mengaku mendapat informasi dari informan polisi bahwa Rahmadi diduga menyimpan narkotika.
Namun, keterangan mereka terkait asal-usul barang bukti dinilai tidak konsisten.
Saksi Kedua juga menyebut bahwa sabu tersebut adalah milik seseorang bernama Amri alias Nunung.
Barang itu disebut akan dikirim melalui beberapa perantara, mulai dari Frend, kemudian Rahmadi, lalu diserahkan ke Lombek, dan selanjutnya ke Andre Yusnijar.
Majelis hakim kemudian menyimpulkan alur distribusi tersebut.
“Jika Lombek punya akses langsung ke Amri, kenapa harus melalui Rahmadi?” ujar salah satu hakim anggota.
Rahmadi membantah semua tuduhan. Ia menyatakan tidak memiliki sabu dan menyebut barang bukti tersebut diletakkan oleh polisi saat dirinya dalam keadaan tidak dapat melihat karena mata dilakban.
“Itu bukan barang saya. Kalian yang menaruh,” ujarnya dalam konferensi.
Sementara itu, dalam sidang berbeda sehari sebelumnya, terungkap bahwa barang bukti sabu dalam kasus dua penipu lain, Andre Yusnijar dan Ardiansyah alias Lombek, berkurang dari 70 gram menjadi 60 gram.
Itulah sebabnya kuasa hukum Lombek Cs menyampaikan eksepsi dalam sidang yang digelar di PN Tanjungbalai pada hari Rabu, 13 Agustus 2025 kemarin.
Kuasa hukum Rahmadi menduga, selisih 10 gram itulah yang kini dijadikan barang bukti untuk menjerat kliennya.
Fakta yang terungkap ini menambah panjang daftar pertanyaan masyarakat terhadap integritas aparat penegak hukum.
Terlebih lagi, dalam banyak kasus narkotika, barang bukti kerap menjadi satu-satunya alat bukti utama untuk menjerat seseorang.
Oleh karena itu, ketidakjelasan asal-usul dan berat barang bukti tidak saja berbahaya, tetapi juga berpotensi menjadi bentuk rekayasa hukum.
Persidangan selanjutnya akan digelar pada hari Rabu, 20 Agustus 2025 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi penangkap serta yang memberatkan penipu. KM-fah/Merah