Wakil Ketua Komisi III DPT RI, Desmond J. Mahesa : Menelisik Calon Kapolri Baru Pilihan Istana

oleh -92 views

DALAM waktu yang tidak terlalu lama lagi, Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz akan segera memasuki masa pensiun, tepatnya bulan Januari tahun depan.

Dengan masuknya masa pensiun, otomatis posisinya sebagai Kapolri harus diganti oleh orang baru, untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Setiap kali terjadi pergantian Kapolri selalu tercium aroma “persaingan” dan kasak kusuk, diantara para perwira untuk memperebutkan posisi tertinggi di institusinya.

Kasak kusuk itu sudah mulai terasa terutama sejak adanya pencopotan Kapolda DKI dan Kapolda Jawa Barat, yang diduga karena adanya peristiwa kerumunan massa sehubungan kedatangan Habib Riziek Shihab dari Saudi Arabia.

Bagaimana sesungguhnya cara pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diatur di dalam konstitusi kita ?. Apa tantangan yang bakal dihadapi oleh Kapolri baru pengganti Idham Aziz yang akan segera memasuki masa pensiunnya ?. Seperti apa syarat dan kriteria ideal bagi seorang Kapolri harapan masyarakat Indonesia ? Siapa calon kuat perwira yang kira kira akan dipilih oleh penguasa istana ?

Cara Pengangkatan & Pemberhentian Kapolri

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Kemudian, tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri itu diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Mengenai pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang diatur lebih lanjut dengan Keppres, sejauh ini tidak diketahui apakah Kepres yang dimaksudkan itu sudah diterbitkan atau belum. Namun, dengan melihat dari pengaturan dalam UU Kepolisian, sebenarnya sudah ada tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kapolri seperti yang diatur dalam Pasal 11 UU Kepolisian:

(1). Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2). Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.

(3). Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(4). Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(5). Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(6). Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

(7). Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

(8). Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Di samping itu, untuk diketahui, dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ini terlibat juga lembaga Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional). Kompolnas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perpres 17/2011 yang menyatakan:

(1). Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Kompolnas memberikan pertimbangan kepada Presiden atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja terhadap:

1. Kapolri, dalam rangka memberikan pertimbangan pemberhentian; dan Perwira Tinggi Polri dalam rangka memberikan pertimbangan pengangkatan Calon Kapolri.

(2). Penyampaian pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Jadi secara ringkas,berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usulan Presiden diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR.

Apabila DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu 20 (dua puluh) hari maka calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR. Sedangkan calon Kapolri adalah perwira tinggi kepolisian yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Jadi, pengangkatan Kapolri adalah kewenangan penuh dan hak prerogatif Presiden dengan memperhatikan masukan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Presiden, dalam menetapkan calon kapolri, harus diajukan kepada DPR untuk dilakukan fit and proper test dan disetujui DPR.

Tantangan Kapolri Baru

Salah satu tantangan berat yang akan dihadapi Kapolri baru pengganti Idham Aziz adalah bagaimana mengembalikan tingkat kepercayaan publik (trust building) terhadap institusi Polri. Apalagi akhir akhir ini mencuat kasus penyelesaian kerumunan massa ditengah pandemi yang diduga dilakukan oleh pentolan FPI Habib Riziek Shihab di Petamburan dan Megamendung Bogor Jawa Barat.

Aroma penyelesaian kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan yang sarat dengan nuansa ketidakadilan karena terkesan begitu diprioritaskan penangannya. Sementara itu pada sisi lain banyak kerumunan massa yang tidak di tindak dengan tegas sebagaimana mestinya seperti misalnya kerumunan yang diakibatkan oleh kegiatan Pilkada.

Demikian juga kerumunan kerumunan lain diluar Habib Riziek yang terkesan tidak ditindak dengan tegas alias dibiarkan berlangsung tanpa tindakan untuk upaya penegakan protokol kesehatan kepada mereka. Yang terbaru adalah kasus kerumunan massa pengajian Guru Uci di Tangerang yang konon dihadiri pula oleh Kapolda dan Gubernurnya.

Kasus lain adalah kaburnya Harun Masiku yang sampai sekarang tidak jelas dimana rimbanya. Belum lagi kasus kasus penahanan para mahasiswa dan aktifis KAMI yang melakukan kritik kepada pemerintah yang berkuasa. Sementara pada sisi lain adanya dugaan penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan oleh buzzer buzzer penguasa terkesan kebal hukum alias tidak diproses sebagaimana mestinya. Apakah dalam hal ini aparat keamanan telah memainkan politiknya ?

Untuk mengembalikan kepercayaan publik tersebut salah satunya adalah melakukan reformasi ditubuh Polri yang masing terhuyung huyung jalannya. Kalau kita runut sejarahnya, tonggak reformasi Polri sebenarnya telah dimulai sejak adanya pemisahan Polri dan TNI yang ditetapkan dengan TAP MPR No VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

Selanjutnya, mempertegas pemisahan tersebut, Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945 merumuskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Tugas konstitusional tersebut kemudian dijabarkan UU No 2/2002 tentang Polri. Tiga tahun setelah terbitnya UU Polri, institusi ini baru menata langkah reformasi institusi yang sistematis dan berkelanjutan dalam bentuk grand strategy pembangunan Polri 2005-2025 berdasarkan SK No 360/VI/2005.

Dokumen yang menjadi acuan Polri ini pada intinya memuat reformasi secara gradual yang meliputi reformasi bidang instrumental, struktural, dan kultural, yang terbagi menjadi tiga tahap, yakni trust building (2005-2009), partnership and networking building (2010-2014), strive for excellent, dan excellent (2014-2019 dan 2020-2024).

Pada bidang instrumental dan struktural, Polri mengklaim telah memetik keberhasilan meskipun klaim keberhasilan tersebut tidak teruji karena kontradiktif dengan kondisi organisasi Polri yang belum sepenuhnya menopang profesionalisme, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas utama Polri.

Sementara pada aspek kultural, perjalanan reformasi yang meliputi perubahan pola pikir, tata tindak, kebiasaan, persepsi, dan lain-lain masih berjalan di tempat. Konservatisme yang melekat di tubuh Polri dalam semua fungsi pelayanan, keamanan, dan ketertiban, serta penegakan hukum ialah bukti bahwa Polri belum sepenuhnya berubah.

Jika mengacu pada tahapan reformasi yang dicanangkan, target trust building, yakni institusi Polri memperoleh kepercayaan tinggi masyarakat karena integritasnya, justru kedodoran. Setidaknya, sejak kasus cicak vs buaya (2009) dan kriminalisasi pimpinan KPK (2015), kasus Habib Riziek sampai dengan tidak ditemukannya Harun Masiku membuat kepercayaan publik atas Polri berada di titik terendah.

Itulah kiranya tantangan terberat dari Kapolri baru yang akan menggantikan Idham Aziz nanti yaitu mengembalikan keperayaan publik kepada institusi yang sudah terlanjur babak belor karena kinerjanya yang dianggap belum optimal dilaksanakan dibawah kendali pimpinannya. Menurunnya tingkat kepercayaan publik itu disebabkan karena dugaan ketidakadilan dalam penerapan hukumnya.

Mencari Sosok Ideal

Dengan tantangan yan g cukup berat terutama mengembalikan kepercayaan rakyat, maka untuk menjadi Kapolri, tentulah tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Seorang Kapolri harus benar-benar dari perwira tinggi kepolisian yang mumpuni. Tidak hanya karena menyandang bintang dua atau bintang tiga saja. Seorang Kapolri haruslah memiliki integritas moral yang tinggi, loyalitas tinggi, tegas, dan profesional.

Selain itu juga sosok yang kaya pengalaman di lapangan karena, tanpa adanya pengalaman di lapangan, bagaimana mungkin seorang Kapolri dapat memahami kondisi anak buah dan kondisi bangsa ini secara keseluruhan? Oleh karena itu, pengalaman di lapangan menjadi salah satu faktor penting yang tidak bisa diabaikan dalam pengangkatan seorang Kapolri.

Contohnya, pengalaman sebagai kepala polisi daerah atau Kapolda. Bagaimana mungkin seorang jadi pimpinan, tapi tidak pernah berada di bawah. Pengalaman sebagai Kapolda misalnya sangatlah penting. Dengan pengalaman tersebut, seorang Kapolri akan mendapatkan kredit poin, karena ia telah berpengalaman memimpin dan mengkoordinir personel polisi.

Selain itu, seorang Kapolri, hendaknya memang benar-benar orang yang beriman dan bertakwa. Sebab, dengan ketakwaan inilah, maka setiap langkah dan tindakan seorang Kapolri akan terukur secara agama dan dia tidak akan sembarangan dalam mengambil tindakan.

Akan tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa seorang Kapolri tidak hanya menjadi idola di kepolisian, akan tetapi juga harus menjadi idola bagi masyarakat. Bagaimana mungkin jika seorang Kapolri menjadi idola di kepolisian, tapi justru menjadi momok bagi masyarakat. Kalau itu yang terjadi, tentulah hal ini akan menjadi timpang. Ketokohannya menjadi tidak paripurna dan tidak balans di mata anggota kepolisian dan sekaligus di mata rakyat.

Menurut Haris Azhar, Aktivis hukum dan HAM telah mengutarakan kriteria khusus bagi calon Kapolri mendatang.Empat kriteria tersebut, menurutnya adalah :

Pertama, Kapolri harus memiliki integritas personal dan integritas institusional. Integritas personal menyangkut rekam jejak yang bersih terhadap masalah korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Integritas institusional menyangkut sikap dan kemampuannya menjaga institusi Polri sebagai institusi yang bersih, adil, netral secara politik, responsif, imparsial, dan tidak mewakili kelompok kepentingan.

Kedua, Kapolri mampu menegakkan akuntabilitas. Kapolri juga tegas dalam menegakkan akuntabilitas bagi dugaan terjadinya korupsi, kasus kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan aparaturnya. Ia juga harus tidak bersikap reaksioner dan terbuka terhadap institusi lain berkenaan dengan masalah tersebut.

Ketiga, Kapolri harus memiliki legitimasi. Aspek legitimasi penentuan calon Kapolri tidak hanya merujuk pada Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa secara implisit calon Kapolri memiliki pangkat di bawahnya, yakni Komjen. Legitimasi perlu mempertimbangkan aspek internal dan eksternal calon Kapolri.

Keempat, Kapolri mampu membangun kepercayaan. Unsur kepercayaan tidak hanya di internal dalam tubuh Polri, tetapi juga terhadap lembaga negara lainnya. Hal itu terutama dalam membangun kepercayaan dari publik. Kepercayaan dari segala pihak adalah faktor penting agar terus memperbaiki institusi Polri.

Sementara itu analis Politik dan Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens, sebagaimana dikutip jawapos.com 16/6/2020 mengungkapkan lima (5) kriteria untuk menjadi suksesor Kapolri Idham Azis.Menurut dia kriteria calon Kapolri ada lima.

Pertama, sosok nasionalis yang tegas, berani, dan paham prinsip-prinsip demokrasi sipil dalam menghadapi gejolak sosial dan politik yang terus berlangsung di level daerah ataupun nasional. Apalagi, pada tahun 2024 akan menjadi titik balik yang cukup menegangkan bagi hidup berdemokrasi kita sebagai bangsa.Dia melanjutkan, dalam konteks ini memerlukan figur yang kuat dalam prinsip, tegas dalam bertindak, dan tulus mengadi pada bangsa dan negara.

Kedua, lanjut Boni, Polri membutuhkan pimpinan baru yang dapat memperkuat kerja sama lintas sektoral, koordinasi antaragensi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), termasuk dengan Badan Intelijen Negara (BIN), agar ada sinergi dalam merespons ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang muncul. Ia mencontohkan isu rasisme Papua yang bergejolak saat ini, di matanya polisi tidak bisa bekerja sendirian. Menurutnya perlu ada koordinasi yang kuat dan efektif dengan BIN untuk pengumpulan dan analisis informasi, dan dengan institusi TNI apabila diperlukan.

Ketiga, Kapolri yang baru mesti sosok yang sejalan dengan visi dan misi penegakan hukum pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dari awal pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2014, dia menilai TNI dan Polri selalu menjadi kekuatan utama yang menopang keamanan dalam berbagai gejolak yang terjadi di tengah masyarakat, yang harus dipertahankan.”Apalagi, pada tahun 2024 akan menjadi titik balik yang cukup menegangkan bagi hidup berdemokrasi kita sebagai bangsa,” katanya.

Keempat, Kapolri yang baru harus melanjutkan prestasi Kapolri sebelumnya, termasuk prestasi Idham Azis dalam memerangi kejahatan besar, seperti sindikat narkoba dan sindikat perdagangan manusia. Ke depan, menurut dia, perlu ada terobosan baru dalam dua kejahatan besar itu karena generasi muda bangsa ini harus diselamatkan dari bahaya narkoba. Selain itu, perdagangan manusia atau human trafficking harus diberantas tuntas. Dia menyarankan, dalam konteks ini polisi tidak hanya menangkap para pelaku dalam negeri, tetapi juga perlu bekerjasama dengan yurisdiksi internasional untuk menangkap jaringan di luar negeri.

Kelima, Kapolri yang baru mesti memiliki potensi akseptabilitas yang memadai dari internal kepolisian. Hal ini menurutnya penting, supaya manajemen institusi bisa berjalan dengan baik, terutama ketika Kapolri menyalurkan perintah dari pusat ke daerah dalam pelaksanaan tugas-tugas penegakan hukum. Oleh sebab itu kata Boni Kapolda mesti betul-betul bersinergi dengan Kapolri dalam hal visi dan misi, bukan hanya formalitas. Menurutnya hal ini akan berdampak pada polres-polres di tingkat kabupaten atau kota.

Sementara itu menurut Pengamat Kepolisian dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sri Yunanto sebagaimana dikutip bisnis.com 12/11/2020, menyebut calon kapolri pengganti Jenderal Polisi Idham Azis harus bisa mengatasi tiga masalah yang diprediksi terjadi di Indonesia.Masalah pertama adalah calon kapolri harus sosok yang memiliki loyalitas tinggi kepada Presiden Joko Widodo dan memiliki manajemen pencegahan yang matang.

Kedua, calon kapolri juga harus bisa diterima oleh sejumlah kelompok atau komunitas yang tengah berjalan secara dinamis di Indonesia. Terlebih, kata Yunanto, hari ini isu anti-Islam tengah menguat di Indonesia.

Terakhir, kata Yunanto, calon kapolri juga harus bisa merangkul seluruh anggota internalnya agar Korps Bhayangkara bisa berjalan secara solid, dan siap menghadapi berbagai situasi pada masa depan.”Jangan sampai nanti ketika ada calon kapolri yang terpilih, dia tidak bisa membuat internalnya semakin solid, ini akan repot ke depannya nanti. Jadi harus punya leadership yang baik,” ujarnya.

Siapa Calonnya ?

Ada banyak perwira tinggi yang mempunyai peluang untuk menggantikan Idham Azis sebagai Kapolri. Sekurang kurangya ada lima jendral bintang tiga (Komjen) yang saat ini menjabat di internal Polri dan mempunyai peluang besar sebagai calon Kapolri.

Pertama, adalah Komjen Rycko Amelza Dahniel yang menjabat sebagai Kabaintelkam, peraih Adhi Makayasa Akpol 1988 ini masa dinas hingga 2024.

Kedua, Komjen Agus Andrianto, saat ini menjabat sebagai Kabaharkam, alumni Akpol 1989, dengan masa dinas hingga 2025.

Ketiga adalah Komjen Listyo Sigit Prabowo, menjabat sebagai Kabareskrim, alumni Akpol 1991, dengan masa dinas hingga 2027.

Keempat adalah Komjen Gatot Eddy Pramono, yang menjabat sebagai Wakapolri, alumni Akpol 1988, dengan masa dinas aktif hingga 2023.

Kelima adalah Komjen Agung Budi Maryoto, saat ini menjabat sebagai Irwasum Polri, alumni Akpol 1988, dengan masa dinas aktif hingga 2023.

Ada juga perwira Tinggi Polri yang bertugas di luar organisasi Polri namun juga mempunyai peluang, bahkan bisa dianggap sebagai kuda hitam adalah Komjen Boy Rafli Amar, yang sekarang menjabat sebagai Kepala BNPT. Komjen Boy Rafli Amar cukup populer di kalangan masyarakat, alumni Akpol 1988 ini masa dinas aktif hingga 2023. Perwira Tinggi Polri lainnya adalah Komjen Bambang Sunarwibowo, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Utama BIN, alumni Akpol 1988, dengan masa dinas aktif hingga 2024.

Selain perwira tinggi bintang tiga (Komjen), masih ada peluang bagi perwira tingga bintang dua (Irjen) untuk masuk dalam bursa calon Kapolri. Indikasinya adalah jika perwira tinggi bintang dua tersebut dalam kurun waktu hingga akhir tahun ini mendapat promosi dan kenaikan pangkat menjadi bintang tiga. Saat ini dua perwira tinggi bintang dua yang menonjol adalah Irjen Nana Sudjana, Kapolda Metro Jaya, alumni Akpol 1988, masa dinas aktif hingga 2023; dan Irjen Ahmad Lutfhi, Kapolda Jawa Tengah, alumni Sepamilsuk Polri 1989, dengan masa dinas aktif hingga 2024.

Sekurang kurangnya ada tiga tahapan yang diperkirakan akan menjadi jalan bagi terpilihnya Kapolri pengganti Jendral Idham Aziz. Pertama adalah dipilih dari beberapa perwira tinggi bintang tiga yang mempunyai kinerja terbaik dalam momentum penanganan Covid-19 dan Pilkada Serentak 2020.

Para perwira tinggi bintang tiga tersebut adalah Komjen Gatot Eddy Pramono (Wakapolri), Komjen Rycko Amelza Dahniel (Kabaintelkam), Komjen Agus Andrianto (Kabaharkam), dan Komjen Listyo Sigit Prabowo, (Kabareskrim), Komjen Boy Rafli Amar (Kepala BNPT), dan Komjen Agung Budi Maryoto (Irwasum Polri)

Jika langkah pertama tidak menjadi pilihan dari Presiden, atau ada perwira tinggi bintang dua yang kinerjanya lebih menonjol. Indikasi skenario kedua ini adalah akan ada promosi dari perwira tinggi bintang dua menjadi bintang tiga sehingga bisa masuk dalam bursa calon Kapolri. Dua perwira tinggi bintang dua yang potensial untuk masuk dalam skenario kedua ini adalah Irjen Nana Sudjana (Kapolda Metro Jaya) dan Irjen Ahmad Lutfhi (Kapolda Jawa Tengah).

Pada sisi lain peluang Nana Sudjana yang baru saja dicopot sebagai Kapolda DKI Jakarta, nampaknya sudah tertutup peluangnya untuk menjadi Kapolri. Sehingga kandidat akan semakin mengerucut pada tiga nama.Nama nama yang santer diperbincangkan di lingkungan istana, berdasarkan keterangan IPW ada tiga Jenderal tiga bintang.Mereka adalah Komjen Pol Boy Rafli Amar (Kepala BNPT), Komjen Pol Gatot Edhy Pramono (Wakil Kapolri) dan Komjen Agus Andrianto (Kabaharkam Polri).

Jika kemungkinan kedua tersebut tidak dipilih oleh Presiden, maka diperkirakan akan muncul kemungkinan ketiga yaitu menerapkan pasal 30 ayat 2 UU No 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 (enam puluh) tahun. Aturan ini akan memberikan payung hukum bagi Presiden jika memperpanjang masa jabatan Jendral Idham Azis sebagai Kapolri, sambil menunggu kesiapan dan kelayakan calon Kapolri pengganti.

Banyak kemungkinan bisa terjadi dalam suksesi Kapolri pengganti Idham Azis. Semuanya tentu tergantung pada Presiden yang mempunyai hak prerogative dalam menentukannya. Tapi dalam proses pengangkatan akan melibatkan DPR dimana banyak dinamika juga yang terjadi disana. Termasuk mendengarkan pertimbangan Kompolnas dan suara suara masyarakat pada umumnya.

Belum lagi adanya Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 ini yang juga akan sangat mempengaruhi melenggangnya calon Kapolri baru. Pasalnya calon yang akan naik panggung harus bisa membuktikan stabilitas kamtibmas dan ekonomi saat pilkada dan sesudahnya bisa terjaga dengan baik.

Apapun itu masyarakat berharap, Kapolri terpilih nantinya benar-benar sosok idaman, bukan hanya idaman para personel kepolisian, melainkan juga sosok idaman masyarakat. Bukan hanya sosok yang memahami dan mengerti kondisi personel kepolisian, tetapi juga seorang sosok yang mengerti dan tentang kondisi masyarakat Indonesia secara umum.

Dengan sosok seperti itu diharapkan akan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian yang akhir akhir terpuruk namanya karena beberapa kasus hukum yang menderanya.vh/red