Mhd. Diano Khairian
Artikel:
Nama : Mhd. Diano Khairian
NPM : 2016010125
Konsentrasi : Hukum Pidana
Mata Kuliah : Penemuan Hukum
Magister Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
“Penafsiran Hukum”
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen. Sebagai negara hukum maka hukum harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri beberapa elemen, salah satu elemen peradilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, seorang Hakim haruslah menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Akan tetapi apabila dalam hukum tertulis tidak ditemukan atau dirasa tidak cukup, maka Hakim dapat melakukan penafsiran hukum.
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia, keputusan hakimjuga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum.
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Tetapi dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.
Dengan adanya kodifikasi, hukum itu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah Hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kodofikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulita pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena pada waktu kodifikasi ini dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnya listrik.
Aliran listrik juga sekarang telah dianggap benda, sehingga barang siapa yang dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka Hakim sebagai penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan di dalam memberi putusan Hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ada beberapa macam penafsiran,antara lain:
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang ; yang dianut oleh semata-mata arti perkataa menurut tatabahasa atau menurut kebiasaab, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apabila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal sebagai berikut:
Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkirkan kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan istilah “kendaraan” itu. Orang bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan perkataan “kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah atau termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain dalam Jurisprudensi Negara Belanda adalah sebagai berikut:
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Penafsiran sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-undang hendak dicari maksud seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang tercantum dalam teks Undang-undang. Metode interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain.
Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum asing.
Ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila).
Yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” terasuk juga “benda”.
Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacad,dan sebagainya.
Yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain beada di luar pasal tersebut.
Contoh : Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah dengan halnya laki-laki? Apakah laki-laki juga harus menunggu lampaunya 300 hari? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “TIDAK” karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus ditujukan kepada perempuan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Saya yakin dalam pembuatan artikel ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga artikel ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang Penafsiran Hukum.
Saya hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan dan khilafan, maka dari itu saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
koranmonitor - MEDAN | Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Kahiyang Ayu…
koranmonitor - MEDAN | Tim Polrestabes Medan mengungkap berbagai kasus tindak pidana peredaran narkoba selama…
koranmonitor - MEDAN | Sesosok mayat pria berlumuran darah ditemukan di Jalan Tanjung Selamat, Gang…
koranmonitor - MEDAN | Jaksa Agung Republik Indonesia, St Burhanuddin resmi mengganti Kepala Kejaksaan Tinggi…
koranmonitor - MEDAN | Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Medan akan berpartisipasi dalam gelaran Colorful…
koranmonitor - JAKARTA | Bank Indonesia (BI) mengupayakan agar kartu Nusuk jamaah haji dan umrah…