Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Tanggung Jawab Siapa?

oleh
Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Tanggung Jawab Siapa?
Ade Venny Darma Putri, Mahasiswi FH USU

KEKERASAN seksual terhadap anak dapat dikatakan sebagai kegagalan praktik dalam penerapan dan perlindungan, serta pengendalian sosial terhadap anak.

Bagaimana tidak, berdasarkan data yang disajikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa Per Tahun 2023 mulai dari bulan Januari sampai bulan September terdapat 8.364 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tercatat pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni).

Ironinya mayoritas dari korban kekerasan seksual terhadap anak ini adalah anak yang berusia 6-12 tahun. Kejadian ini menimbulkan tanda tanya siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Apakah orang tua, lembaga pendidikan, masyarakat, atau negara?

Kekerasan seksual merupakan gejala yang paling sering diberitakan pada saat ini. Secara umum pengertian kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.

Bentuk kekerasan seksual terhadap anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini merupakan masalah sosial yang serius, namun belum ada yang mampu memberikan penjelasan dan penanganan mengenai hal tersebut secara baik dan memuaskan. Angka kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun mengalami peningkatan. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak setiap hari, menjadi perhatian khusus bagi semua pihak.

Upaya pencegahan dan penindakan, serta perlindungan kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya semata-mata tugas orang tua, keluarga, dan masyarakat tetapi pemerintah juga turut serta dalam menangani hal tersebut. Menyikapi hal itu, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang bersangkutan dengan hal tersebut, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014.

Dalam undang-undang tentang Perlindungan Anak, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan pemerintah juga berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana, serta ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Selain itu, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah juga menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara sebagai organisasi tertinggi dan terkuat memiliki andil yang besar dalam melindungi hak-hak anak yang diwujudkan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang pemberian perlindungan terhadap anak sehingga ada jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak yang nantinya berdampak pada kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

Selain pemerintah, orang tua juga tentunya memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penindakan, serta perlindungan kekerasan seksual terhadap anak, yaitu dengan memberikan pengetahuan kepada anak mengenai pendidikan seks yang seharusnya sudah diperoleh dari tahun pertama oleh orang tuanya. Karena pada kenyataannya orang tua bersikap apatis dan tidak berperan aktif untuk memberikan pendidikan seks sejak usia dini kepada anaknya. Mereka beranggapan bahwa pendidikan seks akan diperoleh anak seiring berjalannya usia ketika mereka sudah dewasa nanti.

Peran orang tua terhadap pendidikan seks yang masih menganggap tabu untuk dibicarakan bersama anak menjadi sebab yang harus dibenahi bersama untuk membekali anak melawan arus globalisasi yang semakin transparan dalam berbagai hal termasuk seksualitas. Pendidikan seks seharusnya menjadi bentuk kepedulian orang tua terhadap masa depan anak dalam menjaga sesuatu hal yang telah menjadi kehormatannya, terlebih bagi seorang anak, baik anak perempuan ataupun anak laki-laki. Selain pemberian pengetahuan mengenai pendidikan seks terhadap anak, orang tua juga harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual tersebut.

Selain pemerintah dan orang tua, masyarakat tentunya juga memiliki peran terhadap upaya pencegahan dan penindakan, serta perlindungan kekerasan seksual terhadap anak melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam ketentuan Pasal 72 ayat (2) Undang-undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa peran masyarakat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Peran masyarakat ini sangat berpengaruh terhadap kekerasan seksual terhadap anak dikarenakan kekerasan seksual terhadap anak juga dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat yang dapat menimbulkan trauma psikis pada anak. Oleh karena itu, penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual tentunya juga harus mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terkait, seperti orang tua, keluarga, masyarakat maupun negara.

Setelah ditetapkannya Undang-undang tentang Perlindungan Anak tersebut, pada kenyataannya pemerintah juga masih belum dapat secara optimal melakukan penerapan pencegahan dan penindakan, serta perlindungan kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini dapat dilihat karena masih banyak dan terus meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak terselesaikan dengan baik dan juga karena masih kurangnya kesadaran orang tua, keluarga, masyarakat, dan lembaga yang sangat berperan dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan, serta perlindungan terhadap anak untuk mengatasi masalah kekerasan seksual yang banyak terjadi sampai sekarang ini.

Dengan demikian, hal dalam upaya pencegahan dan penindakan, serta perlindungan kekerasan seksual terhadap anak merupakan tanggung jawab dari negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua yang berkewajiban untuk memperbaiki penerapannya agar berjalan dengan optimal dan memberikan perlindungan yang baik, serta menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. (Penulis: Ade Venny Darma Putri, Mahasiswi Tindak Pidana Khusus, dengan NIM 210200641, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara)