KORANMONITOR.COM, MEDAN – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara diduga lalai dalam melakukan pengembalian uang terhadap kerugian negara atas dugaan tindak pidana kourpsi.
Kelalain ini terjadi, lantaran Jaksa tidak melakukan pengecekan ke lokasi proyek, sebelum dilakukannya pengembalian uang atas dugaan korupsi.
Pengembalian uang dugaan korupsi ini dilakukan oleh CV Harapan Baru yang menjadi temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumut.
Dalam temuannya, BPK menemukan telah terjadi praktek korupsi terhadap pembangunan Jalan Jembatan Merah-Muara Soma, di Kabupaten Mandailing Natal mencapai Rp 1,9 miliar.
Pekerjaan peningkatan jalan ini diketahui menelan anggaran mencapai Rp 10 miliar pada tahun 2020 lalu.
Kenyataannya, jalan ini rusak bahkan bisa dikatakan tak layak untuk dilintasi pengendara.
Aspal pada lokasi pekerjaan tampak sudah kupak-kapik. Lubang yang menganga di jalan tersebut menjadi tempat penampungan air.
Butiran-butiran aspal yang bertaburan di jalanan ini rawan akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan, ketika kendaraan melintas.
Selain itu, jembatan yang menghubungkan jalan ini juga tak dilengkapi dengan Road Barrier atau pembatas jalan.
Hanya garis dilarang melintas yang terpasang pada sekitaran jembatan tesebut.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa material yang digunakan untuk memperbaiki jalan tersebut diduga dikorupsi oleh pihak pemborong.
Dengan anggaran Rp 10 miliar yang dikucurkan oleh Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) sekarang menjadi Dinas PUPR Sumut, pengerjaan ini diduga dilakukan asal-asalan.
Pemborong, yakni CV Harapan Baru diduga sengaja melakukan pengerjaan asal-asalan, untuk mendapatkan keutungan besar dari proyek tersebut.
Tak tanggung-tanggung, diduga pendapatan pemborong dari hasil pekerjaan ini melebihi temuan pada dugaan korupsi yang ditemukan oleh BPK.
Pengamat Hukum, Redyanto Sidi menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh Kejati Sumut atas pengembalian uang kerugian negara terhadap dugaan korupsi pembangunan jalan di Kabupaten Mandailing Natal.
Sebab, Kejati Sumut tidak melakukan pengecekan terhadap lokasi pekerjaan yang dikerjakan oleh CV Harapan Baru.
“Ini seperti tidak transparan salam melakukan penyelamatan uang negara,” kata dia.
Selain tidak melakukan pengecekan di lokasi, Kejati Sumut, kata dia tidak mempublikasikan pengembalian ini ke publik.
Dirinya lantas bertanya-tanya, ada hal darurat seperti apa yang menyebabkan Kejati Sumut sampai tidak menginformasikan hal ini kepada masyarakat.
“Masyarakat berhak tau bagaimana kinerja kejaksaan dalam melakukan tindakan terhadap perkara korupsi. Karena dengan hal ini Kejaksaan kinerjanya akan dilihat oleh masyarakat,” katanya.
Redyanto mengatakan, pengembalian uang atas kerugian negara terhadap tindak pidana korupsi tersebut tidak menghapus proses hukum yang berlangsung.
“Pengembalian tidak serta merta menghapus pidananya. Kejaksaan harus tegas dan melanjutkan proses hukum yang sudah berlangsung,” kata dia.
Perihal ini, kata Redyanto juga sesuai dengan Pasal 4 UU Tipikor, mengenai pengembalian uang negara atas kerugian terhadap tindak pidana korupsi.
“Semua ini ada prosesnya dan sudan diatur di dalam pasar tersebut,” ucapnya.
Atas kejadian ini, ia malah menaruh dugaan kecurigaan terhadap Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam melakukan penindakan terhadap tindakan korupsi yang terjadi.
“Kalau tidak transparan, maka akan muncul opini publik seperti itu. Jika ada keterlibatan oknum, maka harus dibebastugaskan dlu dan idealnya diambil alih oleh setingkat di atasnya,” ungkapnya.
Ia meminta ketegasan Kejati Sumut dalam mengupas tindakan-tindakan menyimpang terhadap kerugian negara atas ulah para koruptor.
KM-tim