Sidang Korupsi Kredit Macet Mantan Pinca Sei Rampah Rp1,3 Miliar, Ahli: Bank Sumut Tahu Debitur gak Mampu Lagi

oleh
Sidang Korupsi Kredit Macet Mantan Pinca Sei Rampah Rp1,3 Miliar, Ahli: Bank Sumut Tahu Debitur gak Mampu Lagi
Tengku Ade Maulanza (kemeja putih), selaku mantan Pinca PT Bank Sumut Sei Rampah dan Zainur Rusdi, Pimpinan Seksi Pemasaran duduk di bangku 'pesakitan' Pengadilan Tipikor Medan. (Foto.KMC)

koranmonitor – MEDAN | Giliran Mangasa Marbun, ahli perhitungan keuangan negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Ribka Aretha dan Rekan, yang berkantor di Jakarta dihadirkan tim JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Serdang Bedagai (Sergai) Imam Darmono didampingi Cakra Aulia Sebayang, Jumat (4/7/2025) di Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan.

Temperatur jalannya persidangan sempat rada ’menghangat’ ketika tim penasihat hukum (PH) terdakwa Tengku Ade Maulanza, selaku mantan Pimpinan Cabang (Pinca) PT Bank Sumut Sei Rampah dan Zainur Rusdi, Pimpinan Seksi Pemasaran mencecar ahli.

“Mohon maaf Yang Mulia. Kami sudah cek ke lokasi. Bank Sumut (Cabang Sei Rampah) sudah paham. Dia (terdakwa debitur Selamet, telah divonis bersalah) tidak sanggup (melunasi kredit).
Terlalu besar kreditnya. Agunannya tidak sesuai. Istilahnya, ‘Lebih besar pasak dari tiang’. Sebaliknya si debitur juga tidak mau (over kredit). Histori sebenarnya Bank Sumut sudah tahu dia tidak sanggup,” tegas ahli di hadapan majelis hakim diketuai Andriyansyah.

Hakim Ketua pun menimpali pertanyaan, apa dasar ahli menyertakan perhitungan bunga kredit koran dan denda angsuran lainnya sebagai kerugian keuangan negara (total Rp1.332.585.554-red).

“Izin, Yang Mulia. Kerugian keuangan negara itu harus benar dan pasti. Pihak Bank Sumut sudah memiliki perhitungan tempo hari yang dituangkan dalam Peraturan Direksi. Untuk Kredit Rekening Koran (KRK) dikenakan bunga. Sedangkan Kredit Angsuran Lainnya (KAL) ada tambahan denda,” urai Mangasa Marbun.

Di bagian lain, tim PH kedua terdakwa mempertanyakan apakah ahli ‘mengantongi’ restu dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam menghitung kerugian keuangan dalam perkara a quo. Sebab yang mendeklair kerugian keuangan negara adalah instansi dimaksud.

Namun ahli berpendapat bahwa sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 98/PUU-X/2012, para akuntan publik tergabung dalam Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI), juga bisa melakukan perhitungan.

“Sebentar. Kalau misalnya pak PH tidak sependapat dengan hasil perhitungan dari ahli ini, silakan dihadirkan ahli dari saudara,” timpal hakim ketua Andryansyah.

Sementara saksi fakta yang turut dihadirkan tim JPU, Amoni Zebua, mantan Kacab Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) -sekarang: Bank SMBC Indonesia Tbk- menerangkan, yang melakukan pinjaman dengan agunan Hak Milik (SHM) Nomor 435 atas nama Sahrul Efendi

Namun SHM tersebut diagunkan oleh Selamet pada bulan maret 2015 di Bank Sumut Sei Rampah. Yang pada faktanya pada April pinjaman di bank BTPN oleh Sahrul Efendi, baru dilunaskan dan diroya.

Kredit Macet

Dalam dakwaan Imam Darmono menyebutkan, kedua terdakwa Tengku Ade Maulanza dan Zainur Rusdi turut dijadikan ‘pesakitan’ atas pemberian kredit tak sesuai prosedur di perbankan kepada debitur bernama Selamet, yang berujung kredit macet hingga merugikan keuangan negara Rp1.332.585.554.

Tertanggal 3 Oktober 2013 Selamet dan istrinya Mujiani serta terdakwa Tengku Ade Maulanza selaku Pinca PT Bank Sumut Sei Rampah pun menandatangani Persetujuan Membuka Kredit (PMK), yang sifatnya kredit rekening koran. Sistem pembayarannya, Selamet selaku debitur hanya membayar bunga kredit dan pelunasan pokok kredit dilakukan secara sekaligus pada saat jatuh tempo, 3 Oktober 2014.

Walau tidak mampu melunasi kredit saat akan jatuh tempo, terdakwa, istrinya dan Tengku Ade Maulanza dengan agunan serta nilai pinjaman yang sama, kembali menandatangani PMK sebagai pembaharuan dari kredit Selamet di tahun 2013 dengan sistem pembayaran serupa dan jatuh tempo Oktober 2015.

Selamet yang secara sadar akan ketidakmampuannya melunasi KUR Rekening Koran kurang lebih senilai Rp500 juta tersebut kemudian pada 5 Maret 2015 malah mengajukan permohonan 2 fasilitas kredit yang baru. Yaitu KRK sebesar Rp400 juta dan KAL sebesar Rp350 juta.

Niat Selamet adalah untuk melunasi kredit sebelumnya dan sisanya akan dipergunakan untuk membeli lahan yang akan dipakai sebagai agunan, agar nilai jaminan atau agunan yang diajukan terdakwa layak mendapatkan 2 fasilitas kredit yang baru dengan total jumlah kredit sebesar Rp750 juta. Jatuh temponya 18 Maret 2016 dan kembali berujung kredit macet.

Belakangan terungkap, Selamet tidak memberitahukan kepada Bank Sumut bahwa pada saat mengajukan 2 fasilitas kredit, masih menikmati kredit di bank lain yaitu Bank Danamon. Agunan berupa SHM 229 memang milik terdakwa namun SHM 435 ternyata orang lain bernama Sahrul Efendi dengan modus seolah dalam proses balik nama alias BBN.

Keduanya dijerat dengan dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Subsidair, Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana. KM-fah/Red