KontraS : Persoalan HAM di Sumut Cenderung Terabaikan

oleh

MEDAN | Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menilai, sepanjang 2020 persoalan Hak Azasi Manusia (HAM) di Sumatera Utara (Sumut), tidak menjadi prioritas dan cenderung terabaikan.

Imbasnya, upaya pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM semakin jauh dari harapan.

Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam mengatakan, kondisi yang bisa menggambarkan kelamnya HAM di Sumut dapat dilihat dari empat sisi. Pertama, tingginya angka kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan negara, khususnya kepolisian.

Kedua, belum adanya metode efektif dalam menyelesaikan konflik agraria. Ketiga, upaya pembungkaman masyarakat sipil di tengah munculnya UU Kontroversial hingga pandemi Covid-19 dan keempat, sulitnya pemenuhan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.

Amin menjabarkan, pada 2020 KontraS mencatat terjadi 192 kasus, mengakibatkan 226 orang terluka dan 56 orang meninggal. Sebagian besar dilakukan oleh kepolisan dalam konteks upaya penegakan hukum. Sedangkan 44 kasus merupakan praktek tembak mati dengan dalih tindakan tegas dan terukur.

“Tafsir tindakan tegas dan terukur masih rancu. Banyak kasus justru mengarah pada penggunaan kekuatan yang dilakukan secara berlebihan. Jauh dari prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam PERKAP Nomor 8 Tahun 2009,” ujar Amin, Kamis (10/12/2020).

Amin mengaku, KontraS juga memberikan sorotan khusus pada dugaan kasus penyiksaan. Sepanjang tahun 2020, lembaga ini mencatat 13 pengaduan kasus penyiksaan di Sumatera Utara. Jumlah ini jauh meningkat dari tahun sebelumnya, KontraS menerima pengaduan 5 kasus penyiksaan.

“Secara sederhana sesuatu dikategorikan penyiksaan ketika memenuhi unsur-unsur seperti, menimbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa, oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat negara yang berwenang, untuk suatu tujuan tertentu seperti mendapatkan informasi penghukuman atau intimidasi,” jelasnya.

“Proses hukum melalui pengaduan kasus-kasus itu sebagian besar mandeg. Paling jauh berujung pada perdamaian sepihak tanpa proses hukum sebagaimana mestinya. Belum terlaksananya sanksi hukum yang tegas membuat tidak ada efek jera. Wajar kejadian semacam ini terus berulang,” tukas Amin.

Sebab itu, KontraS mendesak pimpinan Polri agar berani secara tegas mendorong proses hukum bagi personel yang melakukan pelanggaran. Ketegasan justru baik untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi Kepolisian.

Di sisi lain, timpal Amin, meski berada dalam situasi pandemi tapi angka konflik agraria di Sumatera Utara tetap tinggi. Hasil pemantauan KontraS mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 31 titik konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara. Angka ini bahkan meningkat dari tahun sebelumnya, dimana kontras mencatat 23 titik konflik.

Beberapa HGU PTPN II yang dalam setahun belakangan menimbulkan polemik ditengah masyarakat misalnya HGU No 171 di Pancur Batu (kwala Bekala), HGU No 54,55 di Binjai Timur (Tunggurono), HGU No 90,92 di Sei Mencirim, HGU No 91 di Kutalimbaru (Sei Glugur), HGU No 94 di STM Hilir (Limau Mungkur), HGU No 113 di Kecamatan Batang Kuis (Bandar Klipa), HGU No 152 di Percut Sei Tuan (Sampali), HGU No 111 di Labuhan Deli (Helvetia) hingga HGU No 5 di Stabat (Kwala Bingei).

“Sekali pun di tengah situasi pandemi, proses okupasi di lapangan malah terus dilakukan. Rakyat sudah menderita secara ekonomi akibat pandemi, malah harus kehilangan rumah dan tanahnya,” tegas Amin.KM-vh