Jokowi Meminta, Prabowo Terima

oleh -7 views

(Oleh : Gusmiyadi, Kader Partai Gerindra Sumatera Utara)

SEJAK berdiri pada tahun 2008, Partai Gerindra memiliki potisioning yang jelas sebagai partai politik. Sebagaimana karakter para pendiri, Gerindra banyak sekali bicara tentang konsepsi kedaulatan.

Hal ini menyentuh pada berbagai perspektif dasar, dari sebuah cita-cita negara merdeka.

Sepuluh tahun menjadi partai oposisi, kritik-kritik dan pemikiran Gerindra yang disampaikan melalui orasi-orasi politik, serta buku-buku Prabowo Subianto telah mewarnai khasana politik Indonesia.

Secara gamblang itu kemudian menjadi pembeda bagi Prabowo – Gerindra dengan partai lainnya. Partai ini jelas sekali berusaha menerapkan sebuah cara membangun republik dengan menjadikan patriotisme – nasionalisme sebagai dasar pergerakan.

Prabowo – Gerindra kemudian tidak hanya bekerja pada tataran wacana. Beberapa kali dalam situasi kegentingan nasional, Prabowo menunjukan sikap politik yang tidak abu-abu. Puncaknya adalah, sebagai oposisi Ia menolak pelengseran Jokowi pada gelombang aksi jutaan massa diseberang istana.

Hari-hari terakhir ini, seakan menjadi penentu bagi sikap Gerindra. Konsistensi sikap patriotisme – nasionalisme tadi diuji dengan cara yang terkesan tidak biasa. Jokowi meminta Prabowo membantu memperkuat pemerintahan.

Prabowo didorong untuk wujudkan cita-cita Gerindra dalam perspektif pertahanan keamanan dan mungkin juga pertanian, mengingat Edhy Prabowo, anak ideologis Prabowo juga ikut serta dipanggil Presiden.

Ini menjadi terkesan tidak biasa, karena kerasnya pertarungan Pilpres Jokowi VS Prabowo mengantarkan rakyat berpikir bahwa mereka tidak dapat dipersatukan.

Secara emosional, mestinya Prabowo tidak terima panggilan itu. Demikian juga faktor gengsi. Sebagai mantan rival, rasanya tak pantas Prabowo akan dikendalikan oleh Jokowi.

Membaca Prabowo memang tidak sesederhana itu. Prabowo memiliki latar belakang yang cukup kompleks untuk sekedar dibenturkan dengan istilah gengsi. Semua tahu bahwa Prabowo jenderal tempur. Dimasa muda, ia dibesarkan dengan sangat berkecukupan secara ekonomi, tetapi tetap concern dengan pergerakan. Maka tidak asing bagi kita, Prabowo cukup akrab dengan Soe Hok Gie.

Pada puncak karirnya Prabowo harus berhenti dari jabatan militernya. Dua puluh tahun hidup dalam kekejian fitnah pelanggaran HAM yang sangat absurd, dan ia jalani dengan lapang dada. Prabowo fokus membangun partai dan menghadirkan buah pikirannya dalam berbagai buku, seminar dan gerakan politik.

Dinamika kehidupan Prabowo menghadirkan kematangan yang tuntas. Jatuh bangun ia rasakan untuk menegakan marwah bangsa dan demokrasi Indonesia. Dengan ini, tentu label gengsi tidak akan mempengaruhi keputusannya untuk menunjukan totalitas pengabdian bagi negara.

Prabowo tentu sudah selesai dengan keadaan ekonominya. Jabatan hanya ia butuhkan sebagai otoritas untuk melakukan perubahan. Dan disinilah momentum pembuktian itu. Sejauh mana Prabowo akan melakukan eksekusi atas apa yang dicita-citakan melakui bidang pertahanan dan keamanan. Sebuah bidang kerja yang sesungguhnya sangat ia pahami dan menjadi bagian dari kritiknya selama ini.

Momentum pembuktian itu akan menjadi tolak ukur dalam menjawab “kecanggungan” publik hari ini tentang kehadiran Prabowo di Kabinet. Tetapi, tentu Prabowo memiliki modal besar dengan sederet prestasinya baik sebagai militer, maupun sipil. Lihat saja, pada pemilu ketiga partai ini, Gerindra memiliki posisi ke-dua terbesar mengalahkan partai-partai senior lainnya.

Modal prestasi itulah yang kini menjadi dasar kita untuk memiliki harapan besar bahwa Prabowo akan melakukan banyak perubahan mendasar bagi republik ini. Ditengah gejolak kondisi keamanan dan persatuan nasional yang sedang dalam kondisi tidak cukup baik, Prabowo telah bekerja dengan memberi contoh kongkrit, BAHWA INDONESIA MESTI BERSATU.*