MEDAN | Kesetaraan gender yang sejak lama digaungkan pemerintah, sepertinya masih memicu polemik di negeri ini. Kendati berbagai upaya sudah dilakukan, namun isu yang muncul lewat emansipasi wanita itu belum bisa berjalan semestinya.
Dalan urusan politik misalnya. Untuk menyamakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) sebagai penyelengara Pemilu, sudah menerapkannya kepada partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu untuk memberi porsi quota 30 persen bagi perempuan dalam mengajukan calon legislatif (caleg) yang diusungnya.
Ironisnya, aturan ini justru seolah tak berlaku bagi KPU RI. Alih-alih jadi contoh, lembaga ini justru terkesan mengingkari aturannya sendiri. Hal itu juga terlihat di KPU Sumatera Utara. Dari 14 kandidat, tim Panitia Seleksi (Pansel) akhirnya menetapkan 7 orang yang resmi menyandang status komisioner.
Lantas pertanyaan muncul. Dari 14 calon tadi, dua orang diantaranya perempuan. Tapi begitu memasuki tahap akhir penjaringan, dari 7 orang komisioner, kabarnya hanya satu orang yang lolos. Atau dengan kata lain keberadaan perempuan tidak sampai 30 persen.
Kondisi inipula yang akhirnya menimbulkan sorotan miring dari berbagai lapisan masyarakat.
Adalah Damayanti Lubis, senator asal Sumatera Utara, turut memberikan komentar atas ketidaksetaraan yang terjadi di jajaran komisioner KPU Sumut.
Melalui sambungan telepon, Damayanti mengungkapkan keberatannya karena perempuan hanya mendapat satu kursi komisioner di KPU Sumatera Utara. Baginya masih sulit bagi kita untuk bisa menerima dan belum masuk di perspektif gender.
Sebelumnya, wanita asal Binjai itu mengatakan sudah mengingatkan ke komite mengenai kuota perempuan di KPU Sumut. Terlebih, hal ini ternyata menjadi sorotan dikarenakan orang-orang juga tahu bahwa situasi di Sumut kian parah.
“Ini memang bukan kursi emas, tapi perlulah adanya sensitifitas (Pansel) mengenai hal ini. Kalau KPU pusat yang menentukan, kenapa di beberapa daerah dibiarkan tidak adanya perempuan di KPU. Harusnya seluruh daerah dievaluasi. Jadi KPU pusat jangan diam-diam saja, takutnya ini berimbas ke KPU Kabupaten/Kota” ujar Damayanti melontarkan kritikan, Rabu (19/9/2018).
Lebih lanjut ia berkata, bahwa harusnya keberadaan 30% perempuan di parlemen bisa satu nafas dengan di komisioner KPU.
Damayanti juga berharap kepada berbagai lapisan masyarakat untuk ikut andil mengambil peran menyuarakan hal ini, terlebih LSM dan juga Media, tutupnya.
Senada juga diungkapkan akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembengunan (STIKP) Ramdeswati Pohan. Wanita yang biasa disapa Desi ini justru memandang, karena penilaian ada di Pansel, sudah pasti kesalahannya ada disiru.
“Harusnya Pansel lebih jeli dan bisa menyepakati kuota 30 persen pada perempuan, meski kita juga menyadari minimnya perempuan yang ikut seleksi” ujarnya.
Khusus untuk calon komisioner KPU Sumatera Utara, semestinya Pansel juga bisa memberi prioritas bagi calon perempuan yang jumlahnya lebih minim.
“Dari awal saya melihat kalau tak salah hanya ada 20 perempuan dari 140 peserta seleksi. Dan pada tiap tahapan ini terus berguguran cukup banyak, hingga akhirnya hanya ada 3 perempuan yang sampai ke 14 besar. Sepanjang yang saya ketahui para peserta perempuan itu beberapa diantaranya adalah orang-orang yang kompeten dan kapabel. Selain berpengalaman dan memiliki kemampuan, kolektif kolegialnya juga cukup baik. Tapi entah kenapa mereka gugur pada tahapan-tahapan tersebut” ujarnya heran.
Dalam kesepakatan kesetraan gender, sambungnya, jika dalam seleksi terdapat nilai yang sama antara lelaki dengan perempuan, pansel disarankan untuk lebih mengutamakan calon perempuan.
“Hitung-hitungannya mereka yang sampai ke tahap semifinal adalah tim ataupun personal yg kuat. Nah, andai Pansel mematuhi ataupun sepakat dengan kuota 30 persen, sudah sewajarnya ketika perempuan yang masuk 14 besar itu lolos semua. Toh cuma tersisa 2 orang. Jadi semestinya keduanya harus diloloskan jadi komisioner terpilih” pungkasnya.
Sementara Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Forum Masyarakat Pemantau Negara (DPP Formapera) Yudhistira Adi Nugraha mengungkapkan, dalam penetapan komisoner lewat pansel, ada kesan KPU RI menerapkan standart ganda.
“Harusnya aturan dan kebijakan itu bisa linier. Artinya, jika KPU bisa menetapkan quota 30 persen bagi caleg setiap partai, KPU semestinya juga menerapkan hal yang sama untuk lembaganya” tegas Yudhistira.
Pria yang akrab disapa Yudis ini juga mengatakab, KPU semestinya bisa menjadi contoh, sehingga tidak ada kesan diskriminasi dalam penjaringan calon komisioner.
“Bagaimana mungkin KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, bisa menerapkan aturan untuk partai sebai peserta pemilu tapi untuk dirinya sendiri hal itu tidak diberlakukan. Ini harus jadi pertanyaan dan sudah sepatutnya jadi bahan kajian” tegas Yudis.red